Learning loss – Dengan diterapkannya social distancing selama masa pandemi Covid-19 ini membuat pelaksanaan kegiatan pendidikan menjadi terhambat. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya revolusi pendidikan di Indonesia yakni ditandai dengan beralihnya sistem pembelajaran tatap muka menjadi pembelajaran jarak jauh di seluruh jenjang pendidikan.
Sesuai dengan kebijakan pemerintah yang tercantum dalam Surat Edaran Mendikbud No. 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Virus Covid-19 mengakibatkan penutupan sekolah di seluruh Indonesia dan mendorong seluruh elemen pendidikan agar dapat melakukan pembelajaran secara daring termasuk jenjang perguruan tinggi.
Lalu dampak apakah yang terjadi akibat Learning Loss?
- Jumlah Siswa yang Melakukan Remote Learning
Sektor pendidikan turut terdampak pandemi Covid-19. Meluasnya penyebaran virus Covid-19 ini mengakibatkan pemerintah harus mengambil langkah preventif terhadap sektor pendidikan yaitu dilaksanakannya Pembelajaran Jarak Jauh (Remote Learning). Berdasarkan data pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan per periode 13 April 2020, tercatat ada sebanyak 68,73 juta peserta didik yang diharuskan melakukan remote learning.
Jumlah peserta didik yang melakukan remote learning berdasarkan tingkat pendidikannya, Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah/sederajat merupakan tingkat pendidikan dengan jumlah peserta didik remote learning tertinggi yaitu sebesar 28,59 juta murid.
Direktur Program Inovasi Untuk Anak Sekolah Indonesia Kemitraan Australia Indonesia (Inovasi), Mark Heyward menilai, SD adalah jenjang kelas yang paling mengkhawatirkan kondisinya saat learning loss atau kehilangan kesempatan belajar selama pandemi Covid-19.
Menurut Heyward, tingkatan SD kelas awal itu memiliki dampak yang serius terhadap learning loss. Dikarenakan pada jenjang pendidikan dan kelas tersebut merupakan pondasi awal untuk peserta didik berkembang secara akademik. Jika di tahap awal saja mereka sudah terkena risiko learning loss, maka akan terjadi kesulitan juga untuk jenjang kelas berikutnya. Disampaikan juga oleh Michelle Kaffenberger, berdasarkan penelitian yang dilakukannya, dampak learning loss secara global pada peserta didik sangat besar terjadi pada siswa yang sedang duduk di bangku Sekolah Dasar.
Nadiem Makarim berpendapat, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi berharap agar segera diadakannya kembali sekolah tatap muka khususnya untuk tingkat SD dan PAUD. Menurutnya, merekalah yang paling membutuhkan, berbeda dengan Universitas maupun SMA. Semakin muda semakin butuh sekolah tatap muka.
Kegiatan remote learning atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ini membuat minimnya durasi interaksi antara siswa dan guru akibat beberapa faktor yang tidak mendukung. Berdasarkan durasi guru mengajar, hasil survei Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru Indonesia (P2GI) mencatat, 40% guru melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama 1-2 jam per harinya di masa pandemi virus corona Covid-19.
Hal ini dapat dikatakan bahwa terjadinya penurunan interaksi antara guru dan siswa jika dibandingkan dalam keadaan pembelajaran dalam kondisi normal sebelum adanya pandemi. Ketika dalam keadaan pembelajaran normal yang biasanya dalam 1 hari pembelajaran berlangsung selama kurang lebih 6 jam. Interaksi yang singkat menjadikan peserta didik kurang untuk memahami materi yang ada. Terlebih jika peserta didik tersebut tidak mendapatkan pendampingan yang tepat oleh orang tua nya. Oleh karena itu, faktor-faktor tersebut lah yang akan membuat terjadinya penurunan capaian kemampuan belajar.
- Angka Putus Sekolah Di Indonesia
Fenomena anak putus sekolah sudah menjadi permasalahan di Indonesia hingga saat ini. Indonesia merupakan negara dengan angka putus sekolah yang tinggi. Di samping itu, adanya pembelajaran jarak jauh akibat pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia ini berpotensi menimbulkan dampak negatif sosial berkepanjangan yaitu penurunan capaian belajar siswa, putus sekolah, kekerasan pada anak dan risiko eksternal.
Berdasarkan data dari Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) Kemendikbud Ristek, tampak bahwa angka putus sekolah di masa pandemi sangat minim. Jumlah putus sekolah di masa pandemi Covid-19, yakni pada tahun ajaran 2019/2020 ada sebanyak 157.166 siswa yang terdiri dari 59.443 siswa jenjang SD, 38.464 siswa jenjang SMP, 26.864 siswa jenjang SMA, dan 32.395 siswa jenjang SMK. Dibandingkan angka putus sekolah di masa pandemi, justru jumlah tertinggi berada pada tahun ajaran 2018/2019 dengan total 301.127 siswa yang terdiri dari 57.426 siswa jenjang SD, 85.545 siswa jenjang SMP, 52.142 siswa jenjang SMA dan 106.014 siswa jenjang SMK.
Angka Putus Sekolah (APtS) didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah siswa putus sekolah pada jenjang pendidikan tertentu (SD, SLTP, SLTA dan sebagainya) dengan jumlah siswa pada jenjang pendidikan tertentu dan dinyatakan dalam persentase.
Berdasarkan grafik, tampak bahwa persentase angka putus sekolah tertinggi berada pada tahun ajaran 2018/2019 dimana persentase angka putus sekolah pada jenjang SD sebesar 0,23%, jenjang SMP sebesar 0,86%, jenjang SMA sebesar 1,08% dan persentase tertinggi ada pada jenjang SMK yaitu sebesar 2,12%. Kemudian persentase tersebut justru mengalami penurunan di tahun ajaran 2019/2020 kecuali pada jenjang SD. Persentase angka putus sekolah SD itu mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya.
Jika kita melihat kondisi pendidikan di Indonesia terutama pada saat pandemi Covid-19 ini, masih terdapat banyak daerah-daerah dan pulau-pulau yang kurang terpantau oleh pemerintah kita, sehingga terjadi ketidakseimbangan dari pendidikan yang berada di kota dan daerah yang kurang terpantau atau yang lebih sering dikatakan sebagai daerah tertinggal.
Hal tersebut juga berdampak pada jumlah putus sekolah di daerah tertinggal. Ada berbagai faktor yang membuat anak di pelosok daerah terpencil putus sekolah, yakni rendahnya pendapatan, lokasi sekolah lanjutan jauh, terbatasnya transportasi, dan harus bekerja membantu orangtua.
Ada 10 provinsi dengan tingkat persentase angka putus sekolah tertinggi di Indonesia. Diketahui bahwa persentase angka putus sekolah terbesar terdapat pada provinsi Maluku Utara dengan persentase sebesar 1,28%, disusul oleh provinsi Papua dengan persentase sebesar 1,23%, dan Papua Barat dengan persentase sebesar 1,05%. Hal ini menunjukkan bahwa masih terjadi kesenjangan pendidikan khususnya di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) dimana angka putus sekolah di daerah tersebut sangat tinggi dibandingkan di wilayah perkotaan.
- Pelajar yang Mengalami Kesulitan dalam Mengakses Internet
Berdasarkan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), penetrasi pengguna
internet di tahun 2019-kuartal II tahun 2020 bertambah 8,9% menjadi 73,7% dibandingkan tahun
- Kontribusi wilayah dengan penetrasi pengguna tertinggi masih dipimpin oleh Pulau Jawa
(41,7%) sedangkan wilayah dengan penetrasi pengguna terendah berada di Pulau Maluku-Papua
(2,2%) disusul dengan Pulau Bali dan Nusa Tenggara (3,9%).
Ada lima provinsi dengan cakupan akses internet yang masih belum merata, yaitu provinsi Papua
hanya memiliki 35,25% rumah tangga yang memiliki akses internet untuk menunjang kebutuhan
PJJ, disusul dengan Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, Maluku, dan Sulawesi Barat. Keadaan
ini berbeda dengan provinsi DKI Jakarta dimana persentase rumah tangga yang memiliki akses
internetnya sudah mencapai 93,24%, sehingga semakin tinggi angka cakupan internet ke rumah
rumah warga, akan semakin terjamin pula kesuksesan PJJ bagi pelajar dan tenaga pendidik.
Berdasarkan data banyaknya desa/kelurahan yang memiliki sinyal telepon seluler lemah menurut
provinsi tahun 2020 memiliki rata-rata sebesar 508 desa/kelurahan.
Provinsi dengan desa/kelurahan yang memiliki sinyal telepon seluler lemah terbanyak berada di Provinsi Sumatera Utara, yaitu sebanyak 1553 desa/kelurahan, sedangkan provinsi dengan desa/kelurahan yang memiliki sinyal telepon lemah paling sedikit berada di provinsi DKI Jakarta, yaitu sebanyak 3 desa/kelurahan. Empat provinsi lain yang masih berada dalam cakupan sinyal telepon seluler lemah ada NTT, Papua, Kalimantan Barat, dan Aceh yang provinsinya berada di daerah 3T. Hal ini menunjukan bahwa masih banyak pelajar/tenaga pendidik/warga khususnya yang bertempat tinggal di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) mengalami kesulitan dalam mengakses internet maupun mendapat sinyal baik atau kuat untuk menunjang pembelajaran jarak jauh.
Jadi itulah beberapa dampak yang terjadi akibat pembelajaran jarak jauh selama pandemi Covid-19 di Indonesia
Daftarkan diri Anda untuk menjadi member e-Guru.id untuk menunjang keterampilan Anda dengan bergabung menjadi member. Yuk daftarkan diri Anda sekarang juga!
Dapatkan informasi guru terupdate dengan Join channel telegram: https://t.me/wartagurudotid
Penulis : WDS