Kurikulum merdeka belum lama ini diluncurkan oleh menteri pendidikan, kebudayaan, riset, dan pendidikan tinggi (mendikbudristek) Nadiem Makarim sebagai bagian dari program Merdeka Belajar episode 15.
Program ini merupakan tindak lanjut dari program-program sebelumnya, yaitu kurikulum darurat dan kurikulum prototype yang di uji cobakan di beberapa sekolah penggerak. Apabila melihat sejarah perkembangan kurikulum pendidikan di Indonesia pasca reformasi, Kurikulum Merdeka merupakan kurikulum ke empat yang dicetuskan setelah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada 2006, dan Kurikulum 2013.
Kurikulum merdeka tidak diterapkan secara serentak di seluruh sekolah di Indonesia melainkan secara bertahap. Dalam rangka pemulihan pembelajaran pasca pandemi, mendikbudristek memberikan kebebasan bagi setiap sekolah untuk memilih opsi kurikulum untuk diterapskan. Opsi tersebut diantaranya, sekolah tetap menerapkan kurikulum 2013 secara penuh, sekolah menerapkan kurikulum darurat (kurikulum 2013 yang disederhanakan), atau kurikulum merdeka. Penentuan opsi ini disesuaikan dengan kesiapan masing-masing sekolah
Menurut Mendikbudristek, setidaknya terdapat tiga keunggulan yang ditawarkan oleh Kurikulum Merdeka. Pertama, lebih mendalam, di mana guru diklaim hanya perlu fokus pada materi esensial tanpa terburu-buru dalam mengembangkan kompetensi siswa. Kedua, lebih merdeka. Penghapusan program peminatan di SMA—yaitu IPA dan IPS—dan kebebasan sekolah serta guru dalam mengembangkan kurikulum menjadi perwujudan keunggulan ini. Ketiga, lebih relevan dan interaktif. Strategi pembelajaran kontekstual dan berbasis projek diklaim dapat membuat aktivitas pembelajaran lebih menarik dan interaktif.
Kurikulum Merdeka menjadi sebuah tawaran yang menarik bagi dunia pendidikan guna merespon perubahan dan perkembangan zaman. Namun, tawaran ini tentunya harus mempertimbangkan kesiapan sumber daya yang ada di masyarakat, mulai dari infrastruktur, fasilitas, hingga jumlah guru. Jangan sampai dengan desain kurikulum yang sangat canggih namun fasilitas di tiap sekolah masih belum memadai, ataupun persebaran guru yang belum merata di tiap daerah.
Bagaimana siswa dapat bebas mengembangkan potensinya, jika tidak ada sarana penunjang? Bagaimana pembelajaran dapat berlangsung menarik dan interakif, jika di suatu sekolah masih kekurangan guru? Bagaimana negara berharap guru dapat mengembangkan kompetensinya, jika kesejahteraannya masih belum terjamin?
Tentu perlu ada sinergritas antara Kemendikbudristek dengan kementerian lainnya, sehingga diperoleh solusi yang holistik. Jangan sampai Kurikulum Merdeka sekadar menjadi tawaran opsional yang hanya mampu dijalankan oleh sekolah di daerah-daerah tertentu saja. Pendidikan bukanlah bisnis yang dilandasi oleh logika permintaan dan penawarn.
Melalui Kurikulum Merdeka besar harapan bahwa ranah pendidikan tidak semata-mata dianggap sebagai pabrik tenaga kerja yang mengedepankan skill sebagai alat ukur utama. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, serta hadirnya berbagai tantangan seperti perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, pendidikan dapat menjadi ranah sentral guna menciptakan manusia-manusia yang tidak hanya siap bersaingan, tapi juga bijaksana dalam bersikap.
Selarasnya pergantian desain kurikulum pendidikan dan pergantian menteri pendidikan sebenarnya bukanlah hal yang mengagetkan, mengingat jabatan menteri adalah jabatan politik yang bergantung dengan siapa presiden yang terpilih. Tiap menteri yang menduduki jabatan tersebut tentunya membawa misi, cita-cita, harapan, dan idealisme tertentu mengenai desain pendidikan yang akan dikelola. Namun, penting bagi tiap menteri untuk benar-benar menghitung dan mempertimbangkan segala kebijakan yang akan dikeluarkan, termasuk soal kurikulum pendidikan.
Ketika suatu kurikulum diputuskan untuk diganti, maka perlu ada alasan yang kuat bahwa kurikulum yang baru lebih relevan dengan perkembangan zaman, alih-alih sekadar keharusan menciptakan kebijakan sebagai menteri yang baru.