Belajar Mandiri – Dewasa ini, konsep belajar mandiri mulai ramai diperbincangkan oleh para pendidik. Sebab sebagian pendidik merasa bahwa terdapat pergeseran sikap dan karakter peserta didik salah satunya terkait kemandirian dalam belajar.
Sudah banyak fenomena para peserta didik yang senantiasa memiliki ketergantungan dalam belajar. Selain itu, mereka juga membutuhkan adanya komando setiap kali akan belajar atau mempelajari suatu bahasan baru.
Ketergantungan peserta didik pada guru memang bukan sepenuhnya hal yang salah. Ada kalanya, peserta didik akan bergantung dan bersikap tidak independen sehingga mensandarkan segala solusi permasalahan pada pendidik.
Jika ini terjadi di jenjang KB- SD, tentu masih bisa dimaklumi. Di saat yang sama, para pendidik dapat menyusun strategi untuk meningkatkan kemandirian dalam diri setiap peserta didik.
Namun, akan sangat berbahaya bila pada jenjang SMP dan SMA, para peserta didik masih menggantungkan keseluruhan permasalahan terutama terkait akademis pada gurunya.
Sebab, karakter usia mereka idealnya mulai belajar untuk meningkatkan daya nalar serta merespon segala sesuatu yang dia hadapi berdasar pengetahuan yang mereka miliki.
Namun rasanya keidealan tersebut akan mengalami beberapa kendala untuk bisa terwujud di kalangan peserta didik jenjang SMP dan SMA bahkan sampai perguruan tinggi.
Sebab ternyata para pendidik juga harus menghadapi beberapa faktor penghambat baik internal maupun eksternal.
Beberapa faktor yang menjadikan peserta didik tidak mandiri di antaranya yakni :
1. Kecanggihan Teknologi
Faktor pertama yakni berasal dari adanya kecanggihan teknologi. Bagaimana kronologinya? Pada mulanya, kehadiran teknologi bertujuan untuk memudahkan akses seluruh manusia di muka bumi untuk mencari segala informasi baik secara gratis dan umum, mengajarkan dan mendapatkan pengetahuan.
Namun, seiring berjalannya waktu, di waktu yang sama, kecanggihan teknologi juga menjadikan manusia menyerap berbagai karakter negatif dan malah menjadi kewajaran.
Akibat fatalnya, malah menjadikan generasi ikut menyerap hal tersebut. Misal, trend sosial media yang mengajarkan generasi bahkan remaja untuk menjadi generasi bebas tanpa batas, terjerumus pada adanya pergaulan bebas.
Padahal, jika dibalikkan pada fungsi awal, kecanggihan teknologi harusnya menjadi sarana untuk hal – hal positif. Kalaupun ada hal – hal negatif yang menyertainya, sudah selayaknya para generasi bijak ikut menyadarkan. Bukan malah terseret arus.
2. Globalisasi
Kemudian, faktor lainnya yang menghambat kemandirian peserta didik yakni adanya globalisasi. Fenomena globalisasi sebenarnya juga memberikan banyak dampak positif bagi generasi masa kini. Mereka bisa lebih mengenal beragam informasi selain dari negeri sendiri. Namun, di saat yang sama, globalisasi juga menjadikan para peserta didik terikut arus negatif semacam pergaulan bebas serta mengakses segala informasi yang tdiak seharusnya dikonsumsi.
Apalagi di tengah pandemi yang berlangsung, peserta didik seakan – akan menjadi sasaran empuk bagi para perusahaan digital untuk menarik mereka menjadi pribadi yang negatif secara tidak langsung demi meningkatkan taraf perekonomian mereka sendiri.
Tentu tidak semua perusahaan digital berlaku demikian. Namun jika melihat fenomena banyaknya generasi terjerumus pada hal negatif, pastilah jumlah perusahaan tersebut banyak. Lantas, siapa yang akan memberantas? Jika dibiarkan, generasi penerus bangsa akan semakin terus merusak.
3. Keberlimpahan Harta
Faktor selanjutnya yakni terkait keberlimpahan harta. Memang jika dibayangkan agak sulit mengenai korelasinya.
Namun, faktor kecukupan hidup bisa menjadikan peserta didik merasa bahwa dirinya tak perlu lagi menjadi seseorang yang mandiri.
Sebab harta mereka lebih dari cukup. Idealnya, manusia hidup memang bukan untuk sekedar berpangku tangan. Mereka akan selalu menjalankan usaha supaya kehidupan bisa berlanjut.
Namun bagaimana dengan para peserta didik yang malah dimanja dengan keberlimpahan? Hal ini patutlah menjadi renungan bersama baik dari sisi pendidik, orangtua maupun lingkungan sekitar.
Makna Belajar Mandiri
Melansir dari beberapa pakar pendidikan, belajar mandiri sering didefinisikan sebagai suatu kemampuan dalam diri seseorang untuk bisa bertanggung jawab pada proses kegiatan belajar mengajarnya. Hal ini sebagaimana definisi yang disampaikan oleh Holec tahun 1981.
Biasanya, belajar mandiri juga disebut dengan istilah self-directed learning atau independent learning. Menurut Harrison (1978), independent learning merupakan proses pengorganisasian suatu instruksi dengan memfokuskan aspek perhatian siswa pada adanya proses instruksional.
Sedangkan menurut Guglielmino (1977) dan Kasworm (1988), keduanya bersepakat untuk memaknai independent-learning. Mereka menegaskan, bahwa belajar secara mandiri adalah bentuk pengarahan diri dalam bentuk atribut pribadi yang bertujuan menggambarkan pendidikan sebagai usaha untuk mengembangkan individu agar dapat mengasumsikan aspek otonomi moral, intelektual dan emosional. Dalam penerapannya, belajar mandiri bukan berarti para peserta didik belajar sendiri. Namun bisa jadi karena ada dorongan dalam dirinya untuk terus termotivasi belajar.
Ciri – Ciri Belajar Mandiri
Untuk mewujudkannya, berikut beberapa ciri – ciri dari pembelajar mandiri yang perlu guru ketahui.
Pertama, pembelajar mandiri akan senantiasa berusaha untuk mendorong dirinya sendiri melakukan suatu kegiatan, contohnya mempelajari sub bab baru sebelum guru membahasnya di kelas. Proses inisiatif ini juga bisa terjadi dalam suasana belajar kelompok.
Kedua, pembelajar mandiri biasanya dapat menentukan tujuan kegiatan yang akan dilakukan secara sendiri. Meski beberapa waktu membutuhkan rekomendasi dari teman maupun lingkungan sekitarnya terutama dari sang guru manakala hal tersebut berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar.
Bahkan, bagi sebagian pembelajar, tujuan yang telah ditentukan pembelajar mandiri akan lebih komprehensif misalnya dalam bentuk tujuan mikro dan makro. Tujuan mikro maksudnya tujuan yang berkaitan dengan adanya aspek penguasaan kompetensi dari mata pelajaran yang dibahas bersama.
Sedangkan tujuan makro yakni tujuan yang berkaitan pada aspek kesiapan peserta didik untuk bisa mencapai level atau tingkatan tertentu dalam pemaknaan peran, tanggung jawab dan tugas kehidupan masing – masing peserta didik.
Ketiga, pembelajar mandiri biasanya memiliki karakter aktif dan kreatif. Biasanya sikap seperti ini muncul manakala di beberapa sebagian sekolah, ketersediaan sumber belajar malah menjadi persoalan bagi kompetensi yang masuk dalam tuntutan.
Karena sekolah hanya tersedia sumber belajar yang terbatas, maka para pembelajar mandiri akan berusaha untuk mencari dan memilih sumber belajar yang lebih lengkap dan lebih menambah wawasan mereka.
Mereka dapat mengakses sumber belajar melalui buku cetak maupun buku digital. Semuanya tersedia dalam bentuk gratis maupun berbayar.
Sebagai pengarah yang baik, anda bisa mengarahkan peserta didik untuk membuat akun saja di IPUSNAS. Platform ini menyediakan berbagai buku dengan genre bermacam – macam. Tentu para peserta didik akan semakin dapat menambah pengetahuan mereka.
Keempat, para pembelajar mandiri akan mampu mengenali kondisi dirinya termasuk cara gaya belajar mereka.
Pun juga dapat dengan mudah mengenali potensi, kemampuan, minat dan bakat atas ilmu pengetahuan yang mereka pelajari. Bahkan mereka akan dengan mudah untuk memutuskan bagaimana cara belajar yang baik baik dengan kinestetik, visual maupun audio.
Nah, demikian ulasan mengenai belajar mandiri dan beberapa faktor penghambat peserta didik tak bisa independen.
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
(shd/shd)