Home / Media Mengajar / News

Sabtu, 26 Februari 2022 - 12:35 WIB

Pembelajaran Bermakna (Meaningfull Learning)

Dibaca 19,560 kali

Pembelajaran Bermakna – Belajar adalah perubahan tingkah laku yang berupa pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Perubahan ini bersifat menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil latihan atau pengalaman.

Proses belajar bersifat individual dan kontekstual, artinya proses belajar terjadi dalam diri individu sesuai dengan perkembangannya dan lingkungannya. Pembelajaran adalah sesuatu yang dilakukan oleh siswa, bukan dibuat oleh siswa.

Pembelajaran pada hakekatnya adalah suatu proses interaksi antara anak dengan lingkungannnya baik antar anak dengan anak, anak dengan , maupun anak dengan .

Kegiatan pembelajaran ini akan menjadi bermakna bagi anak jika dilakukan dalam lingkungan yang nyaman dan memberikan rasa aman bagi anak.

Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya pendidik untuk membantu dalam melaksanakan kegiatan belajar, demi mencapai hasil belajar yang memuaskan (Isjoni, 2009).

David Ausubel (1963) seorang ahli menyatakan bahwa bahan pelajaran yang dipelajari harus “bermakna’ (meaningfull).

Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengkaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seorang.

Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan dingat siswa.

Belajar bermakna menurut Ausubel (1963) merupakan proses mengaitkan informasi atau materi baru dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif.

Ada tiga faktor yang mempengaruhi kebermaknaan dalam suatu pembelajaran, yaitu struktur kognitif yang ada, stabilitas dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu.

Sehubungan dengan hal ini, Dahar (1996) mengemukakan dua prasyarat terjadinya belajar bermakna, yaitu:

  1. materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial, dan
  2. anak yang akan belajar harus bertujuan belajar bermakna.

Di samping itu, kebermaknaan potensial materi pelajaran bergantung kepada dua faktor, yaitu

  1. materi itu harus memiliki kebermaknaan logis, dan
  2. gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif peserta didik.

Muchlas Samani (2007) mengemukakan bahwa apapun pembelajarannya, maka harus bermakna (meaningfull learning).

Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang.

Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa.

Suparno (1997) mengatakan, bahwa pembelajaran bermakna adalah suatu proses pembelajaran dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seorang yang sedang dalam proses pembelajaan.

Pembelajaran bermakna terjadi bila siswa mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Artinya, bahan pelajaran itu harus cocok dengan kemampuan siswa dan harus relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa.

Oleh karena itu, pelajaran harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimilki siswa, sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap olehnya. Dengan demikian, faktor intelektual emosional siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran.

Pembelajaran bermakna adalah pembelajaran yang menyenangkan yang akan memiliki keunggulan dalam meraup segenap informasi secara utuh sehingga akhir meningkatkan kemampuan siswa.

Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang.

Pembelajaran bermakna ditandai oleh terjadinya hubungan antara aspek-aspek, konsep-konsep, informasi atau situasi baru dengan komponen-komponen yang relevan di dalam struktur kognitif siswa.

Proses belajar tidak sekadar menghafal konsep-konsep atau fakta-fakta belaka, tetapi merupakan kegiatan menghubungkan konsep-konsep untuk menghasilkan pemahaman yang utuh, sehingga konsep yang dipelajari akan dipahami secara baik dan tidak mudah dilupakan.

Dengan demikian, agar terjadi belajar bermakna maka guru harus selalu berusaha mengetahui dan menggali konsep-konsep yang telah dimiliki peserta didik dan membantu memadukannya secara harmonis konsep-konsep tersebut dengan pengetahuan baru yang akan diajarkan.

Jadi belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami langsung apa yang dipelajarinya dengan mengaktifkan lebih banyak indera daripada hanya mendengarkan orang/guru menjelaskan.

Belajar bermakna memiliki kondisi-kondisi sebagai berikut:

  1. Menjelaskan hubungan atau relevansi bahan-bahan baru dengan bahan-bahan lama.Lebih dahulu memberikan ide yang paling umum kemudian hal-hal yang lebih terperinci
  2. Menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahan baru dengan bahan lama
  3. Mengusahan agar ide yang telah ada dikuasai sepenuhnyasebelum ide yang baru disajikan.

Menurut Nana (2005)  dalam  pembelajaran terdapat syarat-syarat yang dapat menunjang terciptanya pembelajaran bermakna yaitu:

  1. Bahan yang dipelajari harus dihubungkan dengan struktur kognitif secara substansial dan degan beraturan.
  2. Siswa memiliki konsep yang sesuai dengan bahan yang akan dihubungkan.
  3. Siswa harus memiliki kemauan untuk menghubungkan konsep tersebut dengan struktur kognitifnya secara substansial dan beraturan pula.

Ausubel dalam Dahar (1989) menggemukakan tiga kebaikan dari belajar bermakna yaitu:

  1. Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat.
  2. Informasi yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip.
  3. Informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah belajar hal-hal yang mirip walaupun telah terjadi lupa.
Baca Juga:  Menerapkan Konsep SOLE dalam Pembelajaran

Pembelajaran bermakna erat kaitannya dengan teori konstruktivisme pemikiran Vygotsky (Social and Emancipator Constructivism).

Paham ini berpendapat bahwa siswa mengkonstruksikan pengetahuan atau menciptakan makna sebagai hasil dari pemikiran dan berinteraksi dalam suatu konteks sosial. Teori belajar ini merupakan teori tentang penciptaan makna.

Selanjutnya, teori ini dikembangkan oleh Piaget (Piagetian Psychological Constructivism) yang menyatakan bahwa setiap individu menciptakan makna dan pengertian baru berdasarkan interaksi antara apa yang telah dimiliki, diketahui dan dipercayai dengan fenomena, ide atau informasi baru yang dipelajari.

Piaget menjelaskan bahwa setiap siswa membawa pengertian dan pengetahuan awal yang sudah dimilikinya ke dalam setiap proses belajar yang harus ditambahkan, dimodifikasi, diperbaharui, direvisi, dan diubah oleh informasi yang dijumpai dalam proses belajar.

Itulah sebabnya Vygotsky menyatakan bahwa proses belajar tidak dapat dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi karena persepsi dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis.

Belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai hasil dari pemikiran individu dan melalui interaksi dalam suatu konteks sosial.

Penciptaan makna terjadi pada dua jenjang, yaitu pemahaman mendalam (inert understanding) dan pemahaman terpadu (integrated understanding). Hal demikian bisa terwujud melalui partisipasi aktif antara guru dan siswa, saling menghormati dan menghargai.

Setiap individu dapat belajar, menciptakan makna, dan berkreasi berdasarkan konteks komunitas budayanya masing-masing.

Dalam hubungan ini, David Ausubel (1963) mengklasifikasikan belajar dalam dua dimensi. Pertama, menyangkut cara penyajian materi diterima oleh peserta didik.Melalui dimensi ini, peserta didik memperoleh materi/informasi melalui penerimaan dan penemuan.

Maksudnya peserta didik dapat mengasimilasi informasi/materi pelajaran dengan penerimaan dan penemuan. Dimensi kedua, menyangkut cara bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi atau materi pelajaran dengan struktur kognitif yang telah ada.

Jika peserta didik hanya mencoba-coba menghafalkan informasi atau materi pelajaran baru tanpa menghubungkannya dengan konsep-konsep atau hal lainnya yang ada dalam struktur kognitifnya, maka terjadilah yang disebut dengan belajar hafalan. 

Sebaliknya, jika peserta didik menghubungkan informasi atau materi pelajaran baru dengan konsep-konsep atau hal lainnya yang telah ada dalam struktur kognitifnya, maka terjadilah yang disebut dengan belajar bermakna.

Ausubel membedakan belajar menjadi belajar menerima dan belajar menemukan. Pada belajar menerima, bentuk akhir dari sesuatu yang diajarkan itu diberikan, sedangkan belajar menemukan bentuk akhir itu harus dicari peserta didik.

Selain itu Ausubel juga membedakan antara belajar bermakna dan belajar menghafal. Belajar bermakna adalah suatu proses di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar.

Sedangkan belajar menghafal diperlukan untuk memperoleh informasi baru seperti definisi. Menurut teori belajar bermakna, belajar menerima dan belajar menemukan keduanya dapat menjadi belajar bermakna

apabila konsep baru atau informasi baru dikaitkan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif peserta didik.

Langkah-langkah kegiatan yang mengarah pada timbulnya pembelajaran bermakna adalah sebagai berikut:

  1. Orientasi mengajar tidak hanya pada segi pencapaian prestasi akademik, melainkan juga diarahkan untuk mengembangkan sikap dan minat belajar serta potensi dasar siswa.
  2. Topik-topik yang dipilih dan dipelajari didasarkan pada pengalaman anak yang relevan. Pelajaran tidak dipersepsi anak sebagai tugas atau sesuatu yang dipaksakan oleh guru, melainkan sebagai bagian dari atau sebagai alat yang dibutuhkan dalam kehidupan anak.
  3. yang digunakan harus membuat anak terlibat dalam suatu aktivitas langsung dan bersifat bermain yang menyenangkan.
  4. Dalam proses belajar perlu diprioritaskan kesempatan anak untuk bermain dan bekerjasama dengan orang lain.
  5. Bahan pelajaran yang digunakan hendaknya bahan yang konkret
  6. Dalam menilai hasil belajar siswa, para guru tidak hanya menekankan aspek kognitif dengan menggunakan tes tulis, tetapi harus mencakup semua domain perilaku anak yang relevan dengan melibatkan sejumlah alat penilaian.

Pembelajaran bermakna bisa terjadi jika relevan dengan kebutuhan peserta didik, disertai instrinsik dan kurikulum yang tidak kaku.

Kejadian belajar bermakna didorong oleh hasrat dan intensitas keingintahuan peserta didik tentang bidang studi tertentu.

Dalam hubungan ini, Rogers (1969) mengemukakan tentang iklim yang memungkinkan terjadinya belajar bermakna, yaitu sebagai berikut:

  1. Terimalah peserta didik apa adanya.
  2. Kenali dan bina peserta didik melalui penemuannya terhadap diri sendiri.
  3. Usahakan sumber belajar yang mungkin dapat diperoleh peserta didik untuk dapat memlilh dan menggunakannya.
  4. Gunakan pendekatan iquiry-discovery.
  5. Tekankan pentingnya pendekatan diri sendiri dan biarkan peserta didik mengambil tanggung jawab sendiri untuk memenuhi tujuan belajarnya.

Sekian yang bisa penulis tulis, harapannya apa yang sudah ditulis oleh penulis bisa bermanfat untuk semua pihak.

Terima kasih.

 

 

 

Penulis: Galih Pambudi

Share :

Baca Juga

News

Terbaru! Peserta Guru Penggerak Bisa Dapatkan Tunjangan Sertifikasi Apabila Ikut Ujian Ini

News

Jangan Sampai Keliru, Perbedaan Mekanisme Tunjangan Sertifikasi Guru Kemdikbud dan Guru Kemenag

News

Menjelang Penutupan Rekrutmen Bersama BUMN 2023, Perhatikan Hal- Hal Ini!
photo by kemdikbud.go.id

News

Kabar Gembira, Nadiem Makarim Naikkan Anggaran Berbagai Tunjangan Guru Hingga Segini!

News

Alasan Usia, Kategori Ini Honorer diangkat PPPK Tanpa Tes

News

Resmi Dibuka! Berikut Cara Daftar Akun SSCASN CPNS 2023

News

Regulasi Disiapkan, PPPK Akan Terima Kenaikan Gaji Secara Berkala

News

Pemberian Jenis Rangking di Kelas pada Siswa
Download Sertifikat Pendidikan Gratis